Sebelumya mau ngucapin terima kasih pada pak Presiden karena kebijakan menaikan harga BBMnya membuat saya ‘tergerak’ lagi untuk menulis, heuheu. Daripada komen sepotong-sepotong di medsos, mending komennya dibikin tulisan yang lebih lengkep deh, ini juga sebagai bagian dari membudayakan menulis dari sekedar ‘berkomentar’ :p
Yup, kemarin malam pak Presiden menandai milestone (hampir) satu bulan kepemimpinannya dengan mengambil kebijakan untuk menaikan harga BBM yang berlaku mulai pukul 00.00 WIB 18 November 2014. Solar yang awalnya Rp 5.500 menjadi Rp. 7.500 dan premium yang awalnya Rp. 6.500 menjadi Rp. 8.500 (dua komoditi tersebut naik menjadi Rp. 2.000). Ditinjau dari aspek apapun, kecuali murni untuk ‘kepentingan rakyat’, kebijakan ini tentu menimbulkan pro dan kontra. Lumrah. Sebelum ke pro dan kontra tersebut, mari kita lihat dulu statement pak Presiden tentang kebijakannya ini.
Sepanjang yang saya perhatikan, ada dua hal penting yang saya catat dari pidatonya tersebut:
- Anggaran subsidi BBM akan dialihkan untuk sektor yang lebih produktif: infrastruktur, kesehatan, irigasi sawah, dll.
- Kebijakan ini diharapkan menjadi jalan pembuka bagi kemajuan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara umum
Jika mendengar pidato tersebut, tentu kita berharap hal yang sama dengan apa yang diharapkan pak Presiden. Anggaran subsidi BBM yang mencapai Rp 700 triliun/5 tahun atau lebih dari Rp. 100 triliun/tahun akan lebih bermanfaat untuk kebutuhan pembangunan lain dibandingkan hanya ‘terbakar habis’ di jalan-jalan yang penuh dengan kemacetan. Hal ini tentu saja diamini oleh para pendukung kebijakan tersebut, dimulai dari politisi, pengamat (dan tidak ketinggalan media partisan, gak perlu sebut merek udah pada tau lah yaa :p) yang dengan bermacam argumentasi ilmiah yang menjadi dasar kajiannya. Tapi, benarkah demikian adanya?
Coba kita lihat sebentar ke beberapa pihak yang kontra. Mereka yang menentang kebijakan juga didorong oleh beragam motif, ada yang karena politis karena merasa janji kampanye pak Presiden untuk tidak menaikan harga BBM dilupakan, namun ada juga yang benar-benar pertimbangan logis seperti misalnya analisis dari ekonom Dompet Dhuafa yang menyebut bahwa kenaikan harga BBM tersebut akan berdampak kepada kalangan menengah yang masih rentan, sehingga diprediksi 7 juta yang termasuk kelas menengah akan ‘turun derajat’. Lalu juga dengan fakta bahwa 87% solar user adalah kendaraan angkut yang membawa sembako dan kebutuhan dasar rakyat seperti yang diungkapkan Endhy Kurniawan seorang pengamat lainnya. Masih banyak hal lainnya yang mendorong sikap kontra mereka, tapi pada dasarnya kebijakan yang pak Presiden ambil terkait kebijakan harga BBM ini dianggap berseberangan dengan spirit pro-rakyat yang diusungnya. Benarkah?
Kalau saya pribadi melihat ini dari dua perspektif, sebagai masyarakat Indonesia secara umum yang tidak mempertimbangkan politik praktis dan sebagai mahasiswa (yang katanya) berlatarbelakang keilmuan lingkungan :p.
Dari sisi masyarakat umum, saya pribadi melihat sebuah realita bahwa kebijakan menaikan harga BBM ini sepertinya sudah menjadi sebuah ‘warisan’ dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya, sehingga hal tersebut tampaknya menjadi sebuah hal yang tidak terhindarkan. Lihat saja dari aspek historis dari zaman Orba sampai reformasi rezim pemerintahan SBY kemarin, rasa-rasanya harga BBM belum pernah tuh turun, naik terus. Makanya gak kemakan janji kampanye pak Presiden yang menyebut tidak akan menaikan harga BBM, heuheu :p
Terus dari aspek politik praktis memang susah, karena di politik praktis itu dulu A menjadi B, dulu lawan sekarang kawan, dulu nentang sekarang diem :p. Siapa yang sudah lupa cung, begitu HEBATnya PDI-P dulu menentang kebijakan kenaikan harga BBM semasa pemerintahan SBY bahkan sampai memebuat Buku Putih sebagai bagian sikap kontranya, itu katanya demi rakyat, wong cilik. Nah, sekarang ketika sudah diberikan kesempatan berkuasa? Saya mah senyum-senyum aja sih, lha wong itu memang kepentingan politik praktis, heuheu.
Makanya, kalau perspektifnya politis mah sikapnya bakal berubah-ubah, gimana posisi dan kepentingan yang diusungnya :p. Lebih arif sepertinya mengambil perspektif demi kesejahteraan masyarakat saja, seperti yang pak Presiden sampaikan di pidatonya
Lalu juga dengan segala macam kartu sakti yang dikeluarkan oleh pak Presiden, yang salah satunya sebagai bagian dari solusi membantu kalangan tidak mampu dari efek negatif kebijakannya. Saya sih tidak pesimistis dengan hal tersebut, tapi saya melihat hal tersebut tidak ubahnya dulu ketika pemerintahan SBY yang menyalurkan BLT ketika kebijakan BBM naik diambil. Ini juga saya lihat hal yang serupa, hanya berubah wujud dari cash menjadi card :p. Artinya, belum ada yang benar-benar bersifat inovasi baru dari pak Presiden tentang masalah BBM ini, ‘modus operandinya’ sama: naikan harga BBM, kasih bantuan ke yang tidak mampu. Jadi dari sudut pandang sebagai masyarakat umum sih saya melihat ‘ketidakmampuan’ pak Presiden untuk menghadirkan inovasi dalam menajamkan kebijakannya tentang BBM.
Nah lalu, sedikit berbeda dengan pandangan saya sebagai yang terwarnai dengan background keilmuan saya, saya cenderung sepakat dengan kebijakan pak Presiden ini. Karena bagaimanapun, seperti yang diungkapkan pak Presiden, Rp. 700 triliun/5 tahun is too valuable too be wasted in the highway.
Namun menurut pandangan saya, bagaimana hal tersebut dikonversi menjadi ‘enzim’ yang mengkatalisatori di bidang infrastruktur dan transportasi. Entah kenapa, saya sih melihatnya ketika kesehatan, irigasi sawah dll dimention sebagai pengalihan dari subsidi tersebut, saya pikir bidang-bidang tersebut sudah anggarannya masing-masing sehingga baiknya mungkin tidak melupakan sektor transportasi yang menjadi nadi bagi kebijakan BBM itu sendiri.
Konkritnya misalnya membangun infrastruktur transportasi massal di kota-kota yang sudah penuh sesak penduduk. Penting dicatat, transportasi itu seperti sirkulasi nutrisi bagi penduduk kotanya seperti ibarat sistem sirkulasi yang mengedarkan darah dan nutrisi dalam tubuh, sekali sistem tersebut macet maka aliran darah dan nutrisi terganggu dan sakitlah tubuh tersebut. Pun juga demikian seperti kehidupan kota, makanya kota yang macet berarti kota yang sakit.
Back to the topic, saya sih memimpikannya akan ada suatu sistem transportasi massal yang menggantikan transportasi pribadi dengan pengalihan anggaran BBM subsidi ini. Karena itu berarti menurunkan laju emisi karbon yang dihasilkan dan menjadi salah satu bentuk mitigasi dalam isu global warming, begitu bukan? :p. Sebenarnya banyak lainnya yang menjadi perhatian dari sisi kelimuan saya, kalo pak Presiden mah bilang pro-rakyat kalo saya (kita) mah pro-rakyat dan pro-lingkungan :p, seperti inovasi untuk beralih dari BBM ke bahan bakar rendah emisi, menguatkan peran ristek untuk mendukung upaya invoasi tersebut, dll, yang semua hal tersebut lebih mudah untuk diinisasi dari top level atau dari pak Presiden.
Tentu hal ini bukan pekerjaan mudah, da kalo mudah mah kayaknya dari dulu udah jadi itu si sistem transportasi massal dan si inovasi pengalihan bahan bakar teh, heuheu. Setidaknya komitmen saja dulu bahwa pengalihan anggaran BBM subisdi ini bukan sesuatu yang ‘transaksional’ khususnya untuk sektor-sektor lain, akan tetapi benar-benar dialokasikan sebagai bagian dari skema yang ditujukan untuk mengubah lifestyle masyarakat dalam bertransportasi. Toh pada akhirnya ketika masyarakat sudah meninggalkan atau setidaknya tidak terlalu bergantung kepada kendaraan pribadinya untuk mobilitas kesehariannya, dengan sendirinya saya pikir tidak ada yang terlalu mempermasalahkan tuh dengan naik atau tidaknya harga BBM. Kalo industri lain soal ya, itu bahasan terpisah, heuheu :p
Sebagai tambahan saja, sekarang saya termasuk masyarakat umum yang public transportation user dan tentu pasti bakal merasakan naiknya kembali tarif dari rute angkutan. Gak murni public transportation user sih, karena sesekali naik motor, tapi kalau misalnya tarif angkutan naik terus-terusan, jadi consider beralih secara full ke kendaraan pribadi ini mah, heuheu. Hitung-hitungannya gini, dengan pake angkutan umum saya harus keluar Rp. 15.000-20.000/hari, bandingkan dengan motor yang misalnya cuma Rp. 8.500-12.500/2-3 hari, kan mending pake kendaraan pribadi yak? Heuheu. Mungkin tidak saya saja yang berpikiran seperti itu which means kalo banyak yang seperti saya maka tampaknya berkendara secara umum dan massal di hari esok sepertinya menjadi mimpi dan harapan yang sulit tergapai saja :(.
Ah, maaf tulisan ini tidak hendak mengarahkan ke satu penyikapan yang ‘dirasa paling benar’, karena benar dan salah menurut manusia mah relatif, heuheu :p. Tulisan ini cuma curahan apa yang saya rasakan, dengan segala keterbatasan pengetahuan dan pemaknaannya dan berbagi dengan para reader sekalian, juga menjadi penyikapan saya secara personal terhadap isu ini.
Well, selamat bersikap dari apa yang anda yakini berdasarkan landasan perspektifnya. Yang jelas jangan sampai energi kita habis hanya untuk mengurusi perdebatan kebijakan naiknya harga BBM yang kadung naik karena itu sepertinya ‘hampir mustahil’ untuk turun :p. Yuk ah mari melanjutkan hari dan giat menjemput rezeki sehingga ‘naiknya harga BBM’ tidak lebih tinggi dengan ‘naiknya amal dan rezeki kita’. Say: Aamiin 🙂
#SalamDuaRibu *eh :p