Posted by: hasanlukman | March 14, 2016

Anak Kecil Piatu Irak? Anak Kecil Piatu karena Perang?

Empat hari yang lalu, 10 Maret 2016, beredar sebuah foto yang disertai dengan caption yang juga sempat diposting oleh ustadz Yusuf Mansur di akun Instagramnya. Berikut tampilan foto yang diposting oleh beliau.

hoax-photo-indonesia

Sumber: akun Instagram ustadz Yusuf Mansur

“Terusik” dengan tata bahasa captionnya yang sedikit kacau, saya coba menelusuri ihwal foto tersebut, apakah benar captionnya berkaitan langsung dan menunjukan ekspresi fakta yang sebenarnya dari foto tersebut? Tak butuh waktu lama, akhirnya saya menemukan banyak sekali foto yang sama yang sudah banyak diposting sebelumnya (mayoritas oleh pengguna socmed luar negeri), bahkan diantaranya dengan caption yang berbeda seperti yang memberi caption bahwa dia adalah seorang anak perempuan kecil piatu dari Irak, ada lagi yang menyebut bahwa dia seorang anak perempuan yang belum pernah bertemu dengan ibunya.

Dari penelusuran tersebut, saya menduga awal mula terdistorsinya fakta yang melekat pada foto tersebut secara viral adalah ketika website joke terkenal 9gag mempostingnya pada 15 Januari 2014. Dalam postingan tersebut, 9gag memberikan caption pada foto tersebut “An Iraqi girl in an orphanage – missing her mother so she drew her and fell asleep inside her”. Dari sinilah saya kira akhirnya banyak netizen yang memposting foto tersebut dengan caption yang sama dengan caption yang dibuat 9gag.

9gag hoax

Sumber: 9gag

Kemudian, ada juga broadcast foto yang disertai caption yang serupa dengan yang diposting oleh ustadz Yusuf Mansur walaupun ada sedikit perbedaan. Berikut adalah tampilan fotonya.

hoax-photo-caption

Sumber: SayingImages

Saya tidak dapat menemukan secara pasti siapa yang pertama kali memposting foto dengan captionnya tersebut, tapi sepanjang penelusuran saya, saya mendapatkan bahwa caption foto serupa yang sempat diposting oleh ustadz Yusuf Mansur juga diposting oleh website SayingImages pada tanggal 11 Mei 2013. Postingan ini lebih dahulu ada dibanding dengan postingan di 9gag pada tahun 2014.

Kemudian saya menemukan fakta yang terkandung dalam caption foto tersebut dalam sebuah akun Flickr yang bernama Bharesh Bisheh (dengan lafal bahasa Arab). Dia adalah seorang warga Iran yang mengambil foto tersebut dan mempostingnya pada 15 Juli 2012. Di akun Flickrnya tersebut, dia mengatakan bahwa anak kecil dalam frame tersebut adalah saudaranya.

Dan yang lebih mencengangkan lagi adalah dia mengatakan bahwa anak perempuan kecil dalam foto tersebut tidak ada hubungannya dengan kehilangan orang tua dan tidak ada kaitannya dengan suatu hal tragis yang menimpanya. Dia hanya lelah bermain, lalu berbaring dan kemudian tertidur diatas aspal diluar rumahnya!

Berikut merupakan screenchoot dari akun Flickr Bharesh Bisheh.

real_photo

artist_comment

Sumber: Flickr Bharesh Bisheh

Terjawab sudah satu fakta yang terdapat dalam satu foto namun banyak caption yang viral sehingga mendistorsi informasi yang benar yang dikandungnya. Bertambah lagi satu kasus yang merefleksikan perilaku netizen yang mayoritas masih memposting gambar ini-itu, informasi ini-itu, padahal masih diragukan kebenarannya. Hal ini diperparah ketika yang mempostingnya notabene adalah para tokoh, artis, dan seleb socmed (begitulah sebagian kalangan menyebutnya) yang banyak dijadikan panutan dan mempunyai ratusan ribu hingga jutaan pengikut sehingga informasi-informasi yang sebenarnya masih diragukan kebenarannya bahkan cenderung palsu berubah 180 derajat menjadi sahih.

Here we go, satu foto yang diupload pada tahun 2012, ter(di)distorsi dengan tambahan caption pada tahun 2013, semakin ter(di)distorsi dan semakin viral pada tahun 2014, dan kemudian dengan ringan kita masih menyebarkannya pada tahun 2016. 

Selamat datang di dunia yang penuh hoax, are you?


*Sebagai catatan kecil, beberapa website yang sama diluar negeri juga pernah mengulas kebenaran foto tersebut seperti pada website PhD in Parenting dan Otrazhenie

Posted by: hasanlukman | December 30, 2014

Ukuran Kebahagiaan

Syahdan, sekitar 20 tahun lalu, pada tahun 1995, jagad entertaintment dihebohkan dengan berhentinya Hari Moekti dari belantika musik nasional disaat ia mencapai puncak popularitasnya. Padahal saat itu ia sedang banjir-banjirnya tawaran manggung maupun iklan yang bahkan sampai satu kali manggung ia bilang ada yang mencapai puluhan juta (mungkin sekarang nilainya berkisar di miliaran rupiah). Ia berhenti dari musik dan beralih mengokohkan jiwa spiritualnya. Lalu ia bergabung dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam upaya memperdalam keyakinannya.

Menyusul kurang lebih 2 tahun kemudian, pada tahun 1997, Gito Rollies, mantan vokalis The Rollies, pun mengikuti jalan yang ditempuh oleh Hari Moekti. Berhenti dari bandnya dan memperdalam spirit ruhiyahnya. Bila Hari Moekti ikut bersama HTI, maka Gito Rollies ikut bersama Jama’ah Tabligh untuk mensyi’arkan pengalaman spiritualnya. Ia konsisten dengan jalan yang diambilnya, hingga akhirnya ia wafat pada tahun 2008 karena penyakit kelenjar getah bening yang dideritanya.

Kemudian, sekitar 10 tahun setelahnya, pada tahun 2006, Sakti gitaris SO7 pun menjadi bagian dari musisi yang mengambil langkah serupa. Keluar dari SO7 dan memperdalam jiwa keyakinannya bersama Jama’ah Tabligh. Bahkan Sakti sampai mengubah namanya menjadi Salman Al Jugjawy.

Tahun 2013 kemarin, Noor Al Kautsar a.k.a Ucay mantan vokalis Rocket Rockers dan sekarang, di penghujung tahun 2014, Reza NOAH ternyata juga menjadi bagian seperti apa yang dilakukan beberapa seniornya lakukan. Ucay ikut bersama barisan Indonesia Tanpa JIL (ITJ) sementara Reza ditenggarai ikut bersama Jama’ah Tabligh seperti Sakti.

blue-aurora-borealis-exlarge

Well, tentu itu menjadi sebuah kehilangan bagi insan musik nasional, apalagi bagi para penggemarnya. Akan tetapi kita tentu menghormati keputusan dari apa yang diyakininya. Yang menarik adalah, kenapa mereka mengambil keputusan tersebut?

Jika ditilik dari kesaksian yang mereka ungkapkan, kesamaan dari apa yang mereka putuskan adalah kegelisahan dan ketidaktenangan batin yang tidak mampu dijawab oleh segala materi, kebendaan maupun popularitas yang mereka capai dari aktivitasnya. Riuh tapi kosong, bahagia tapi hampa.

Dititik tersebut, qodarullah, petunjuk atau bahasa populernya “hidayah” itu dikaruniakan oleh Sang Khalik pada hati mereka. Bahwa seyogyanya kebahagiaan hakiki itu tidak bersumber dari melimpahnya materi, kebendaan yang tak terhitung, dan tingginya popularitas, tetapi bersumber dari batin dan hati yang tenang, hati yang selalu menjaga hubungan dekat dengan Sang Pencipta.

Lesson learnednya adalah semoga setiap pekerjaan tidak melalaikan untuk selalu mengingatNya. Pun dengan segala resolusi di tahun depan, semoga tidak bermakna keduniaan saja, tetapi juga bermakna semakin dekatnya hubungan seorang hamba dengan Penciptanya. Capaian-capaian dan prestasi-prestasi itu penting, tapi apalah arti segala capaian dan prestasi tersebut bila semakin menjauhkan hati dariNya.

*lanjutan status dari akun Path beberapa hari yang lalu

Posted by: hasanlukman | November 18, 2014

Ketika Harga BBM Naik (Lagi)

Sebelumya mau ngucapin terima kasih pada pak Presiden karena kebijakan menaikan harga BBMnya membuat saya ‘tergerak’ lagi untuk menulis, heuheu. Daripada komen sepotong-sepotong di medsos, mending komennya dibikin tulisan yang lebih lengkep deh, ini juga sebagai bagian dari membudayakan menulis dari sekedar ‘berkomentar’ :p

Yup, kemarin malam pak Presiden menandai milestone (hampir) satu bulan kepemimpinannya dengan mengambil kebijakan untuk menaikan harga BBM yang berlaku mulai pukul 00.00 WIB 18 November 2014. Solar yang awalnya Rp 5.500 menjadi Rp. 7.500 dan premium yang awalnya Rp. 6.500 menjadi Rp. 8.500 (dua komoditi tersebut naik menjadi Rp. 2.000). Ditinjau dari aspek apapun, kecuali murni untuk ‘kepentingan rakyat’, kebijakan ini tentu menimbulkan pro dan kontra. Lumrah. Sebelum ke pro dan kontra tersebut, mari kita lihat dulu statement pak Presiden tentang kebijakannya ini.

Sepanjang yang saya perhatikan, ada dua hal penting yang saya catat dari pidatonya tersebut:

  1. Anggaran subsidi BBM akan dialihkan untuk sektor yang lebih produktif: infrastruktur, kesehatan, irigasi sawah, dll.
  2. Kebijakan ini diharapkan menjadi jalan pembuka bagi kemajuan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara umum

Jika mendengar pidato tersebut, tentu kita berharap hal yang sama dengan apa yang diharapkan pak Presiden. Anggaran subsidi BBM yang mencapai Rp 700 triliun/5 tahun atau lebih dari Rp. 100 triliun/tahun akan lebih bermanfaat untuk kebutuhan pembangunan lain dibandingkan hanya ‘terbakar habis’ di jalan-jalan yang penuh dengan kemacetan. Hal ini tentu saja diamini oleh para pendukung kebijakan tersebut, dimulai dari politisi, pengamat (dan tidak ketinggalan media partisan, gak perlu sebut merek udah pada tau lah yaa :p) yang dengan bermacam argumentasi ilmiah yang menjadi dasar kajiannya. Tapi, benarkah demikian adanya?

Coba kita lihat sebentar ke beberapa pihak yang kontra. Mereka yang menentang kebijakan juga didorong oleh beragam motif, ada yang karena politis karena merasa janji kampanye pak Presiden untuk tidak menaikan harga BBM dilupakan, namun ada juga yang benar-benar pertimbangan logis seperti misalnya analisis dari ekonom Dompet Dhuafa yang menyebut bahwa kenaikan harga BBM tersebut akan berdampak kepada kalangan menengah yang masih rentan, sehingga diprediksi 7 juta yang termasuk kelas menengah akan ‘turun derajat’. Lalu juga dengan fakta bahwa 87% solar user adalah kendaraan angkut yang membawa sembako dan kebutuhan dasar rakyat seperti yang diungkapkan Endhy Kurniawan seorang pengamat lainnya. Masih banyak hal lainnya yang mendorong sikap kontra mereka, tapi pada dasarnya kebijakan yang pak Presiden ambil terkait kebijakan harga BBM ini dianggap berseberangan dengan spirit pro-rakyat yang diusungnya. Benarkah?

Kalau saya pribadi melihat ini dari dua perspektif, sebagai masyarakat Indonesia secara umum yang tidak mempertimbangkan politik praktis dan sebagai mahasiswa (yang katanya) berlatarbelakang keilmuan lingkungan :p.

Dari sisi masyarakat umum, saya pribadi melihat sebuah realita bahwa kebijakan menaikan harga BBM ini sepertinya sudah menjadi sebuah ‘warisan’ dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya, sehingga hal tersebut tampaknya menjadi sebuah hal yang tidak terhindarkan. Lihat saja dari aspek historis dari zaman Orba sampai reformasi rezim pemerintahan SBY kemarin, rasa-rasanya harga BBM belum pernah tuh turun, naik terus. Makanya gak kemakan janji kampanye pak Presiden yang menyebut tidak akan menaikan harga BBM, heuheu :p

Terus dari aspek politik praktis memang susah, karena di politik praktis itu dulu A menjadi B, dulu lawan sekarang kawan, dulu nentang sekarang diem :p. Siapa yang sudah lupa cung, begitu HEBATnya PDI-P dulu menentang kebijakan kenaikan harga BBM semasa pemerintahan SBY bahkan sampai memebuat Buku Putih sebagai bagian sikap kontranya, itu katanya demi rakyat, wong cilik. Nah, sekarang ketika sudah diberikan kesempatan berkuasa? Saya mah senyum-senyum aja sih, lha wong itu memang kepentingan politik praktis, heuheu.

Makanya, kalau perspektifnya politis mah sikapnya bakal berubah-ubah, gimana posisi dan kepentingan yang diusungnya :p. Lebih arif sepertinya mengambil perspektif demi kesejahteraan masyarakat saja, seperti yang pak Presiden sampaikan di pidatonya

Lalu juga dengan segala macam kartu sakti yang dikeluarkan oleh pak Presiden, yang salah satunya sebagai bagian dari solusi membantu kalangan tidak mampu dari efek negatif kebijakannya. Saya sih tidak pesimistis dengan hal tersebut, tapi saya melihat hal tersebut tidak ubahnya dulu ketika pemerintahan SBY yang menyalurkan BLT ketika kebijakan BBM naik diambil. Ini juga saya lihat hal yang serupa, hanya berubah wujud dari cash menjadi card :p. Artinya, belum ada yang benar-benar bersifat inovasi baru dari pak Presiden tentang masalah BBM ini, ‘modus operandinya’ sama: naikan harga BBM, kasih bantuan ke yang tidak mampu. Jadi dari sudut pandang sebagai masyarakat umum sih saya melihat ‘ketidakmampuan’ pak Presiden untuk menghadirkan inovasi dalam menajamkan kebijakannya tentang BBM.

Nah lalu, sedikit berbeda dengan pandangan saya sebagai yang terwarnai dengan background keilmuan saya, saya cenderung sepakat dengan kebijakan pak Presiden ini. Karena bagaimanapun, seperti yang diungkapkan pak Presiden, Rp. 700 triliun/5 tahun is too valuable too be wasted in the highway.

Namun menurut pandangan saya, bagaimana hal tersebut dikonversi menjadi ‘enzim’ yang mengkatalisatori di bidang infrastruktur dan transportasi. Entah kenapa, saya sih melihatnya ketika kesehatan, irigasi sawah dll dimention sebagai pengalihan dari subsidi tersebut, saya pikir bidang-bidang tersebut sudah anggarannya masing-masing sehingga baiknya mungkin tidak melupakan sektor transportasi yang menjadi nadi bagi kebijakan BBM itu sendiri.

Konkritnya misalnya membangun infrastruktur transportasi massal di kota-kota yang sudah penuh sesak penduduk. Penting dicatat, transportasi itu seperti sirkulasi nutrisi bagi penduduk kotanya seperti ibarat sistem sirkulasi yang mengedarkan darah dan nutrisi dalam tubuh, sekali sistem tersebut macet maka aliran darah dan nutrisi terganggu dan sakitlah tubuh tersebut. Pun juga demikian seperti kehidupan kota, makanya kota yang macet berarti kota yang sakit.

Back to the topic, saya sih memimpikannya akan ada suatu sistem transportasi massal yang menggantikan transportasi pribadi dengan pengalihan anggaran BBM subsidi ini. Karena itu berarti menurunkan laju emisi karbon yang dihasilkan dan menjadi salah satu bentuk mitigasi dalam isu global warming, begitu bukan? :p. Sebenarnya banyak lainnya yang menjadi perhatian dari sisi kelimuan saya, kalo pak Presiden mah bilang pro-rakyat kalo saya (kita) mah pro-rakyat dan pro-lingkungan :p, seperti inovasi untuk beralih dari BBM ke bahan bakar rendah emisi, menguatkan peran ristek untuk mendukung upaya invoasi tersebut, dll, yang semua hal tersebut lebih mudah untuk diinisasi dari top level atau dari pak Presiden.

Tentu hal ini bukan pekerjaan mudah, da kalo mudah mah kayaknya dari dulu udah jadi itu si sistem transportasi massal dan si inovasi pengalihan bahan bakar teh, heuheu. Setidaknya komitmen saja dulu bahwa pengalihan anggaran BBM subisdi ini bukan sesuatu yang ‘transaksional’ khususnya untuk sektor-sektor lain, akan tetapi benar-benar dialokasikan sebagai bagian dari skema yang ditujukan untuk mengubah lifestyle masyarakat dalam bertransportasi. Toh pada akhirnya ketika masyarakat sudah meninggalkan atau setidaknya tidak terlalu bergantung kepada kendaraan pribadinya untuk mobilitas kesehariannya, dengan sendirinya saya pikir tidak ada yang terlalu mempermasalahkan tuh dengan naik atau tidaknya harga BBM. Kalo industri lain soal ya, itu bahasan terpisah, heuheu :p

Sebagai tambahan saja, sekarang saya termasuk masyarakat umum yang public transportation user dan tentu pasti bakal merasakan naiknya kembali tarif dari rute angkutan. Gak murni public transportation user sih, karena sesekali naik motor, tapi kalau misalnya tarif angkutan naik terus-terusan, jadi consider beralih secara full ke kendaraan pribadi ini mah, heuheu. Hitung-hitungannya gini, dengan pake angkutan umum saya harus keluar Rp. 15.000-20.000/hari, bandingkan dengan motor yang misalnya cuma Rp. 8.500-12.500/2-3 hari, kan mending pake kendaraan pribadi yak? Heuheu. Mungkin tidak saya saja yang berpikiran seperti itu which means kalo banyak yang seperti saya maka tampaknya berkendara secara umum dan massal di hari esok sepertinya menjadi mimpi dan harapan yang sulit tergapai saja :(.

Ah, maaf tulisan ini tidak hendak mengarahkan ke satu penyikapan yang ‘dirasa paling benar’, karena benar dan salah menurut manusia mah relatif, heuheu :p. Tulisan ini cuma curahan apa yang saya rasakan, dengan segala keterbatasan pengetahuan dan pemaknaannya dan berbagi dengan para reader sekalian, juga menjadi penyikapan saya secara personal terhadap isu ini.

Well, selamat bersikap dari apa yang anda yakini berdasarkan landasan perspektifnya. Yang jelas jangan sampai energi kita habis hanya untuk mengurusi perdebatan kebijakan naiknya harga BBM yang kadung naik karena itu sepertinya ‘hampir mustahil’ untuk turun :p. Yuk ah mari melanjutkan hari dan giat menjemput rezeki sehingga ‘naiknya harga BBM’ tidak lebih tinggi dengan ‘naiknya amal dan rezeki kita’. Say: Aamiin 🙂

#SalamDuaRibu *eh :p

Older Posts »

Categories